Keutamaan Mendapat Takbiratul Ihram Imam

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang wajib atau tidaknya shalat berjama'ah, yang jelas shalat berjama'ah memiliki banyak keutamaan di bandingkan dengan shalat sendirian. Bukan hanya keutamaan yang terpaut antara 25 atau 27 derajat, orang yang melakukan shalat berjama'ah akan mendapatkan ampunan dosa dari setiap langkahnya menuju masjid.

Bahkan siapa yang menjaga shalat berjama'ah hingga tidak pernah tertinggal dari takbiratul ihram imam selama 40 hari, maka ia akan mendapat penjagaan Allah dari melakukan kenifakan sehingga di akhirat akan terbebas dari api neraka.

Related Posts:

Lima Pelajaran Berharga


Hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, sekaligus mengharamkan kezaliman itu terjadi di antara kalian. Karena itu, janganlah kalian saling menzalimi.

Hamba-Ku, setiap diri kalian itu tersesat, kecuali orang yang Aku beri hidayah. Karena itu, mintalah hidayah kepada-Ku, pasti Aku beri kalian hidayah.

Hamba-Ku, setiap diri kalian itu lapar, kecuali orang yang Aku beri makan. Karena itu, mintalah makan kepada-Ku, pasti Aku beri kalian makan.


Hamba-Ku, setiap diri kalian itu telanjang, kecuali orang yang Aku beri pakaian. Karena itu, mintalah pakaian kepada-Ku, pasti Aku beri kalian pakaian.

Related Posts:

Konsep Trinitas Yang Tak Masuk Akal


Kathryn Bouchard dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katolik yang moderat. Kedua orangtuanya adalah guru sekolah Katolik. Hubungan antar keluarg mereka terbilang akrab satu sama lain. Kathryn yang asal Kanada menghabiskan masa remajanya di London dan Ontario.

Seperti penganut Katolik lainnya, ia pergi ke gereja setiap hari minggu, sekolah di sekolah Katolik hingga ke jenjang universitas. Kathyrn kuliah di Brescia University College, sebuah perguruan tinggi Kristen khusus perempuan yang berafiliasi dengan Universitas Western Ontario. 

"Meski saya dibesarkan dalam lingkungan Katolik, orangtua mendorong saya untuk berteman dengan beragam orang dari berbagai latar belakang dan boleh menanyakan apa saja berkaitan dengan kehidupan dan agama," kata Kathryn.

Related Posts:

Penting! Dilarang Shalat di Antara Tiang-tiang Masjid

Ikhwati fillah, shalat di antara tiang- tiang masjid merupakan permasalahan yang telah banyak diperbincangkan para ulama, mereka mengatakan: “Diperbolehkan bagi imam dan orang yang sendirian shalat di antara tiang-tiang, hal itu makruh bagi makmum karena termasuk memutuskan shaf, kecuali dalam keadaan darurat, berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma... أن النبي -صلى الله عليه وسلم- لما دخل الكعبة صلى بين الساريتين "Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika memasuki ka’bah shalat di antara dua tiang." (Muttafaqun ‘alaihi) Dan dari Anas radliyallahu 'anhu berkata, كنا ننهى عن الصلاة بين السواري ونطرد عنها طرداً "Dahulu kami dilarang shalat di antara tiang-tiang dan kami diusir darinya dengan paksa." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam shahih mereka berdua, Imam Al-Hakim menshahihkannya. Syeikh Albani menghasankannya dalam Shahih al-Jami', no. 1567) Dari Mu'awiyah bin Qurrah dari ayahnya radhiallahu 'anhu berkata, " كنا ننهى أن نصف بين السواري على عهد رسول الله -صلى الله عليه وسلم- ونطرد عنها طرداً "Dahulu kami dilarang untuk membuat shaf di antara tiang-tiang di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami diusir darinya dengan paksa." (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Albani dalam Shahih al-Jami' no. 821) Dari Abdul Hamid bin Mahmud berkata: Aku sholat bersama Anas bin Malik pada hari Jum’at lalu kami diusir dari tiang-tiang maka kami ada yang maju ada yang mundur, lalu Anas berkata: كنا نتقي هذا على عهد رسول الله -صلى الله عليه وسلم "Dahulu kami dilarang melakukan hal ini pada zaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam." (HR. Abu Dawud, Turmudzi dan Nasa’ie. Dishahihkan oleh Syeikh Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 625) Para ulama berbeda pendapat mengenai shalat di antara tiang-tiang. Anas bin Malik berpendapat makruh berdasarkan larangan dalam hal itu, diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dishahihkannya. Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu berkata: “Jangan kalian membentuk shaf di antara tiang-tiang dan sempurnakanlah shaf-shaf.” Hal ini diperbolehkan oleh Hasan, Ibnu Sirin, dan dahulu Sa’id bin Jubair, Ibrahim At-Taimi, Suwaid bin Ghaflah, mengimami kaum mereka di antara tiang-tiang, dan ini pendapat ulama Kufah. Imam Malik rahimahullah berkata dalam kitab “Al-Mudawwanah“: "Tidak mengapa shalat di antara keduanya karena sempitnya Masjid.” Ibnu Hubaib berkata: “Bukanlah larangan itu kepada putusnya shaf-shaf jika masjidnya sempit, namun hal itu dilarang apabila masjidnya luas.” (Umdatul Qari: 4/286) Imam Bukhari rahimahullah telah mengkhususkan dalam “Shahihnya“ Bab shalat di antara tiang-tiang dalam keadaan tidak berjama’ah, Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: (Perkataan beliau (Imam Bukhari): “ Bab sholat diantara tiang-tiang dalam keadaan tidak berjama’ah” bahwa beliau mengkaitkannya dengan selain berjama’ah karena hal itu dapat memutuskan shaf- shaf, dan meluruskan dan merapatkan shaf dalam jama’ah dikehendaki. Berkata Ar-Rafi’ie dalam “ Syarhul Musnad”: Imam Bukhari berdalilkan dengan hadits ini – yakni hadits Ibnu Umar dari Bilal – bahwa tidak mengapa sholat diantara dua tiang apabila tidak berjama’ah, dan beliau mengisyaratkan bahwa yang lebih utama bagi yang sholat sendirian untuk menghadap tiang, meskipun ini lebih utama namun tidak makruh kalau berdiri diantara kedua tiang yakni bagi yang sholat sendirian, dan adapun yang sholat berjama’ah maka berdiri diantara dua tiang seperti sholat menghadap tiang, selesai perkataannya. Hal ini perlu diteliti, karena adanya larangan yang khusus untuk sholat diantara tiang-tiang, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim dari haditsnya Anas dengan sanad shahih, dan itu ada dalam kitab sunan yang tiga dan dihasankan oleh Turmudzi, Berkata Al-Muhib Al-Thabari: “Satu kaum memakruhkan sholat diantara tiang-tiang karena adanya larangan dalam hal itu, letak kemakruhannya ketika tempatnya lapang, dan hikmahnya mungkin karena terputusnya shaf atau karena disitu tempat meletakkan sandal (masjid dizaman dulu)”. Berkata Imam Al-Qurtubi: “ diriwayatkan sebab makruhnya hal tersebut karena disitu tempat sholatnya para jin mukminin” Fathul Bari (1/578) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: ( tidak makruh bagi imam berdiri diantara tiang-tiang, dimakruhkan bagi para makmum, karena memutuskan shaf- shaf mereka, dan ini dibenci oleh Ibnu Mas’ud , An-Nakha’ie dan diriwayatkan dari Hudzaifah dan Ibnu Abbas, dan dibolehkan oleh Ibnu Sirin dan Malik dan pengikut ra’yu dan Ibnu Mundzir, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Dan kami memilih apa yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah bin Qurrah dari ayahnya berkat: “ Dahulu kami dilarang untuk membentuk shaf diantara tiang-tiang dizaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami diusir darinya dengan paksa”. Hadits riwayat Ibnu Majah . karena itu dapat memutuskan shaf, jika shafnya kecil setara dengan antara dua tiang tidak makruh, karena tidak terputus dengannya) Al-Mughni (2/47) Syeikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum sholat diantara tiang-tiang, maka beliau menjawab: (apabila diperlukan maka tidak mengapa, namun jika tidak diperlukan maka hukumnya makruh, karena para shahabat radhiallahu anhum dahulu mereka menhindari hal itu) Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin soal no (389) Demikian juga beliau ditanya tentang hukum memutus shaf dengan tiang-tiang masjid jika penuh dengan jama’ah sholat? Maka beliau menjawab: (tidak ragu lagi bahwa yang paling afdhal untuk shaf-shaf adalah merapat tidak menjauh, inilah yang sunah). Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk merapatkan shaf-shaf, dan menutup celah-celah shaf. Dan dahulu para shahabat radhiallahu anhum menghindari shaf-shaf diantara tiang-tiang karena dapat memutuskan dari sebagiannya. Akan tetapi apabila diperlukan seperti dalam pertanyaan diatas yaitu masjid penuh dengan jama’ah sholat, maka tidak mengapa dalam keadaan seperti ini untuk membentuk shaf diantara tiang-tiang, karena perkara yang baru memiliki hukum khusus, dan keadaan darurat dan keperluan juga memiliki hukum yang sesuai dengannya) Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin soal no (1063) Mudah-mudahan Allah Memberikan taufik dan kemudahan untuk melaksanakan setiap sunah, walaupun kelihatannya sepele, karena tidak ada istilah sepele dalam sunah, jika itu shahih perintah Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam, apalagi istilah makruh bagi ulama terdahulu lebih bermakna mendekati pengharaman. Wallahu A’lam bishowab. (ar/voa-islam)

Related Posts:

Imanmu Menentukan Kebahagianmu

Orang-orang sengsara yang sebenarnya adalah mereka yang miskin iman dan mengalami krisis keyakinan. Mereka ini, selamanya akan berada dalam kesengsaraan, kemurkaan, dan kehinaan. Allah Ta'ala berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaahaa: 124)

Kehidupan yang sempit, sesak, dan berat sebagai adzab merupakan akibat dari berpaling, ingkar, dan kufur terhadap Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk dan keimanan.
Tidak ada sesuatu yang membahagiakan jiwa, membersihkan dan menyucikannya, membuat bahagia dan mengusir kegundahan darinya kecuali iman yang benar kepada Allah, Rabba semesta alam. Singkatnya, kehidupan akan terasa hambar tanpa iman.

Singkatnya, kehidupan akan terasa hambar tanpa iman.


Dalam pandangan orang-orang atheis, cara terbaik untuk membebaskan jiwa adalah dengan bunuh diri. Menurut mereka, dengan bunuh diri orang akan terbebas dari segala tekanan, kegelapan, dan bencana dunia. Betapa malangnya hidup tanpa iman. Betapa pedihnya siksa dan adzab yang akan dirasakan di akhirat oleh orang-orang yang menyimpang dari tuntunan Allah.

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

"Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat." (QS. Al-An'am: 110)

Dalam pandangan orang-orang atheis, cara terbaik untuk membebaskan jiwa adalah dengan bunuh diri.


Kini sudah saatnya dunia menerima dengan tulus, ikhlas dan penuh keyakinan bahwa, "Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah." Betapapun, pengalaman dan uji coba manusia sepanjang sejarah kehidupan dunia ini dari abad ke abad telah membuktikan banyak hal; menyadarkan bahwa berhala-berhala itu hanya tahayul belaka, kekafiran itu laknat, atheisme itu dusta, dan para rasul itu benar adanya, serta Allah itu Mahabenar. Allah-lah yang memiliki kerajaan bumi dan langit, segala puja dan puji hanya milik-Nya, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Seberapa besar dan kecil, kuat dan lemah, hangat dan dingin iman anda, maka sebatas itu pula kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dan ketenangan anda dapatkan.
Allah Ta'ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-Nahl: 97)

Maksud kehidupan yang baik (hayah thayyibah) dalam ayat ini adalah ketenangan jiwa mereka dengan janji baik dari Rabbnya, keteguhan hati dalam mencintai Allah, kesucian mereka dari unsur-unsur penyimpangan iman, ketenangan mereka dalam menghadapi setiap kenyataan hidup, kerelaan hati mereka dalam menerima dan menjalani ketentuan Allah, dan keikhlasan mereka dalam menghadapi takdir. Dan itu semua, sesungguhnya karena mereka ridla Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agama mereka, dan Muhammad sebagai nabi dan rasul yang diutus Allah kepada mereka.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

ذَاقَ طَعْم الْإِيمَان مَنْ رَضِيَ بِاَللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا

"Pasti akan merasakan manisnya iman orang yang ridla Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien/aturan hidup, dan Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebagai rasul.”
(HR. Muslim dari al Abbas bin Abdil Muthalib).

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, kalau tiga keridlaan ini ada dalam diri seseorang maka dia telah menjadi orang yang benar dan jujur dalam beriman. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

"Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu lagi, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al Hujurat: 15)

Dalam Shahihain, dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; “Tiga hal yang terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, tidaklah ia mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan ia benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”

Dalam riwayat Imam Ahmad, dari Abu Razin al ‘Uqaili rahimahullah, “Apabila kamu seperti itu maka benar-benar iman sudah masuk ke dalam hatimu sebagaimana masuknya kecintaan kepada air bagi orang yang kehausan di tengah hari yang terik.”

Ibnul Qayim bercerita tentang gurunya, Ibnu Taimiyah: “Sungguh aku pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya di dalam dunia ada sebuah surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan bisa memasuki surga akhirat.”
“Sesungguhnya di dalam dunia ada sebuah surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan bisa memasuki surga akhirat.” (Ibnu Taimiyah)

Pada suatu hari ia juga bercerita kepadaku, “Apa yang yang akan dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku. Kemanapun aku pergi ia selalu bersamaku. Sungguh penjaraku adalah khalwat (menyepi)ku bersama Allah, kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiran diriku dari negeriku adalah tamasya.”

Oleh: Badrul Tamam

Related Posts:

Ketika Buku seharga Emas

Ada satu masa ketika harga buku itu dinilai dengan emas. Wah…pasti mahal donk. Mana bisa rakyat menjangkaunya? Bisa tuh karena harga buku tersebut dibayarkan oleh negara dengan emas seberat buku yang ditulis.

Buku tersebut kemudian dipasarkan dengan gratis atau harga minimal sekadar mengganti ongkos cetak. Sedangkan penulisnya tidak lagi menerima bayaran dari penerbit ataupun royalti. Hal ini terjadi di masa Khalifah Al-Makmun yang memberikan emas kepada Hunain bin Ishak seberat kitab-kitab yang ia salin ke bahasa Arab dengan ukuran yang sama beratnya.

Related Posts:

Hiburan Hati Bagi Yang Diuji

“Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan, di antara mereka ada yang sholih dan sebagian yang lain tidaklah demikian. Dan Kami uji mereka dengan yang baik-baik (nikmat) dan yang buruk-buruk (bencana) agar supaya mereka kembali (kepada kebenaran)” (QS. Al-A’rof: 168)

Pembagian kelompok manusia

Di antara manusia ada yang mendholimi dirinya, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan yang lain yang selalu berlomba-lomba dalam kebaikan.

Related Posts:

Demi Mendapatkan Akhirat

Sebelum menjadi khalifah, Umar bin al-Khaththab ra biasa mencari nafkah dengan berdagang. Saat dibaiat menjadi khalifah, agar fokus bekerja mengurus dan melayani rakyat, beliau berhenti berdagang. Sebagai kompensasinya, Negara (melalui Baitul Mal), memberikan santunan ala kadarnya untuk beliau dan keluarga yang menjadi tanggungannya.

Suatu saat, sejumlah Sahabat di antaranya Utsman, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam dan Thalhah ra berunding untuk mengusulkan agar santunan untuk Khalifah Umar ra dinaikkan karena dianggap terlalu kecil. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang berani mengajukan usul tersebut kepada Khalifah Umar ra yang terkenal sangat tegas dan 'keras'. Mereka khawatir usulan itu tidak diterima. Akhirnya, mereka menemui Hafshah ra, Ummul Mukminin, salah seorang istri Baginda Nabi SAW yang tidak lain putri Umar ra.

Saat Hafsah menyampaikan pesan mereka terkait dengan usulan kenaikan santunan untuk Khalifah tersebut, Umar tampak seperti menahan marah. Beliau dengan nada agak keras bertanya, Siapa yang berani mengajukan usulan itu?
Hafshah tidak segera menjawab, selain berkata, Berikan dulu pendapat Ayah.
Umar ra berkata, “Seandainya saya tahu nama-nama mereka, niscaya saya pukul wajah-wajah mereka!”

Hafshah, sekarang coba engkau ceritakan kepadaku tentang pakaian Nabi SAW yang paling baik, makanan paling lezat yang biasa beliau makan dan alas tidur paling bagus yang biasa beliau pakai di rumahmu,”kata Umar lagi.

Hafshah menjawab, “Pakaian terbaik beliau adalah sepasang baju berwarna merah yang biasa beliau pakai pada hari Jumat dan saat menerima tamu. Makanan terlezat beliau adalah roti yang terbuat dari tepung kasar yang dilumuri minyak. Tempat alas tidur terbagus beliau adalah sehelai kain agak tebal, yang pada musim panas kain itu dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh beliau jadikan alas tidur dan separuh lagi beliau jadikan selimut.

“Sekarang, pergilah. Katakanlah kepada mereka, Rasulullah SAW telah mencontohkan hidup sangat sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada demi mendapatkan akhirat. Aku akan selalu mengikuti jejak beliau. Rasulullah, Abu Bakar dan aku bagaikan tiga orang musafir.

Musafir pertama telah sampai di tujuan seraya membawa perbekalannya. Demikian pula musafir kedua, telah berhasil menyusulnya dan sampai di tujuannya. Aku, musafir ketiga, masih sedang dalam perjalanan. Seandainya aku bisa mengikuti jejak keduanya, tentu aku akan bertemu dengan mereka. Sebaliknya, jika aku tidak mampu mengikuti jejak keduanya, aku tidak akan pernah bertemu mereka tegas Umar lagi.

Pada saat lain, ketika beliau sedang asyik makan roti, datanglah Utbah bin Abi Farqad ra. Utbah pun beliau persilakan masuk sekaligus beliau ajak untuk ikut makan roti bersama. Roti itu ternyata terlalu keras sehingga Uthbah tampak agak kesulitan memakannya. “Andai saja engkau membeli makanan dari tepung yang empuk,” kata Uthbah.
Khalifah Umar malah bertanya, “Apakah setiap rakyatku mampu membeli tepung dengan kualitas yang baik?”

“Tentu tidak,jawab Uthbah ra.

“Kalau begitu, engkau telah menyuruhku untuk menghabiskan seluruh kenikmatan hidup di dunia ini,tegas Umar.

*****

Itulah Khalifah Umar ra., penguasa Muslim yang wilayah kekuasaannya saat itu adalah seluruh jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian Afrika. Kebe-saran kekuasan beliau tentu jauh lebih besar daripada kekuasaan para raja Arab saat ini. Namun, semua itu ternyata tidak otomatis menjadikan beliau kaya-raya serta bergelimang harta Dan kemewahan, sebagaimana para penguasa Arab saat ini; juga sebagaimana penguasa dan para pejabat Muslim di negeri ini, yang hampir setengah rakyatnya (sekitar 100 juta orang) tergolong miskin.

Sebetulnya, melihat pemandangan yang amat kontras antara kehidupan Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin salah satunya Khalifah Umar, yang penuh dengan kesederhanaan dan kezuhudan dengan para penguasa Muslim saat ini yang bergelimang harta dan kemewahan tidaklah terlalu mengejutkan. Pasalnya, orientasi kedua jenis pemimpin ini memang berbeda: para pemimpin dulu orientasi hidupnya akhirat, sementara yang sekarang orientasi hidupnya hanyalah dunia.

Karena itu, saat ada usulan kenaikan gaji penguasa/pejabat, penguasa/pejabat sekarang menyambutnya dengan riang gembira. Mereka tak mungkin marah seperti Khalifah Umar ra. Meski gaji dan tunjangan mereka sudah sangat luar biasa, mereka bahkan masih tetap berusaha mencari tambahan lain dengan cara-cara yang tidak wajar.
Akhirnya, korupsi menjadi pilihan, dan menerima suap pun amat doyan.

Masihkah kita tetap berharap kepada mereka, juga pada sistem sekuler yang terbukti banyak melahirkan para pemim-pin korup seperti mereka? Tidakkah kita rindu kepada para pemimpin seperti Khalifah Umar, juga pada sistem Khilafah yang terbukti banyak melahirkan para pemimpin zuhud dan warâ' yang bekerja semata-mata demi mendapatkan akhirat? [] arief b. Iskandar

Related Posts:

Menajamkan Mata Hati

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!

Setelah kita bersyukur kepada Allah Swt dan bershalawat kepada nabi kita Muhammad SAW. Kita berharap dan memohon semoga Allah Swt, meridhoi dan menerima amalan yang kita lakukan sebagai amalan ibadah yang diterima serta kita memohon pula untuk senantiasa dijadikan pengikut Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yang setia hingga akhir hayat serta kita tidak kembali keharibaan-Nya kecuali dalam keadaan berserah diri kepada-Nya, sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kita di dalam surat Ali Imran ayat 102:
Artinya: “Dan janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan beragam Islam.” (QS. Ali Imran 102)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!

Suatu hari Baginda Rasulullah SAW sedang berjalan-jalan dan melewati seorang sahabat yang sedang membaca Al-Qur’an. Surat yang dibacanya yaitu surat Ar-Rahman. Sampailah ia pada ayat yang ke 37 :

37. Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak.(TQS ar-Rahman [55]: 37).

Seketika tubuhnya pun gemetar dan ia langsung menangis seraya bergumam,
“Ya Allah, apa yang bakal terjadi dengan diriku sekiranya langit terbelah (terjadi kiamat)? Sungguh malang nasibku!” Mendengar itu, rasulpun bersabda, “Tangisanmu menyebabkan para malaikat pun turut menangis.”

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!

Dikisahkan pula, bahwa Abdullah bin Rawahah ra suatu ketika tampak sedang menangis dengan sedihnya. Melihat itu, istrinya pun turut menangis hingga Abdullah bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Istrinya menjawab, “Melihatmu menangis, itulah yang menyebabkan aku menangis.” Abdullah bin Rawahah ra lalu bertutur, “Saat aku membayangkan bahwa aku bakal menyeberangi shirâth, aku tidak tahu apakah aku akan selamat atau tidak. Itulah yang membuatku menangis.” (al-Kandahlawi, Fadhâ'il A'mâl, hlm. 565.)

Kisah-kisah semacam ini yang menggambarkan rasa takut para sahabat, juga generasi salafush-shalih, terhadap azab Allah SWT sangatlah banyak. Oleh karena itu wajarlah jika mereka adalah orang-orang yang selalu bersungguh-sungguh di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dan dalam menjauhi kemaksiatan kepada-Nya , karena begitu dahsyatnya rasa takut mereka kepada-Nya. Benarlah apa yang dikatakan oleh Fudhail bin Iyadh saat berkata, “Rasa takut kepada Allah SWT selamanya akan membawa kebaikan.”

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!

“Kemudian bagaimana dengan generasi Muslim saat ini?” Sayang, rasa takut kepada Allah SWT sepertinya begitu sulit tumbuh pada kebanyakan kita. Yang terjadi malah sebaliknya. Kita seolah-olah menjadi orang yang paling berani menghadapi azab Allah SWT kelak pada hari Kiamat. “Bagaimana tidak?” Perilaku kebanyakan kita menunjukkan hal yang demikian.

Menerapkan hukum-hukum kufur, mencampakkan hukum-hukum Allah, menerapkan hukum secara tidak adil dan berlaku lalim terhadap rakyat, tidak lagi dipandang sebagai maksiat. Korupsi, kolusi dan suap-menyuap tidak lagi dipandang sebagai suatu dosa. Riba, judi, dan berlaku curang di dalam bisnis tidak lagi dianggap sebagai tindakan yang salah. Mengobral aurat, bergaul bebas, selingkuh dan zina tidak lagi dipandang sebagai perbuatan maksiat dan laknat. Demikian juga dengan meninggalkan shalat, melalaikan zakat dan puasa tidak lagi dianggap sebagai suatu dosa.

Perilaku demikian nyata sekali menunjukkan, bahwa kebanyakan generasi Muslim saat ini adalah orang-orang yang berani menantang azabnya Allah SWT yang sesungguhnya maha dahsyat!” Padahal jika ada setitik saja pada diri kita rasa takut kepada Allah SWT, kita tentu akan selalu berusaha untuk meninggalkan serta menjauhkan diri dari semua perbuatan-perbuatan terkutuk tersebut.

Sudah sepantasnyalah kita mesti merasa malu dengan generasi shalafush-shalih sebagaimana direpresantasikan oleh secuil kisah sahabat di atas tadi. Bagaimana tidak. Sebagian dari mereka sudah mendapatkan jaminan dari Allah SWT untuk masuk kedalam surga. Namun, rasa khawatir dan rasa takut kepada Allah SWT yang luar biasa sering kali menyelimuti sebagian besar qolbu dan hati mereka.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!

Simaklah kembali kekhawatiran dan rasa takut Umar bin Khaththab ra., salah seorang sahabat besar Rasulullah SAW yang telah dijamin masuk surga, saat beliau bertutur, “Pada hari Kiamat nanti, apabila diumumkan bahwa semua manusia akan masuk surga, kecuali hanya seorang saja yang akan masuk neraka, maka aku sangat khawatir bahwa yang seorang itu adalah aku, karena begitu banyaknya dosa-dosaku.”

Lalu bagaimana dengan kita? Meski jelas kita sangat jauh lebih banyak dosanya dari pada Umar bin Khaththab ra, dan belum pasti untuk mendapatkan 'tiket' masuk kedalam surga, namun rasa khawatir dan rasa takut kepada azabnya Allah SWT sepertinya sulit tumbuh di dalam diri kita. Kebanyakan dari kita tetap santai-santai saja, seolah-olah akan hidup abadi selama-lamanya, bahkan sepertinya kita sudah kebal dengan rasa takut kepada Allah SWT, dan tidak khawatir dengan azab-Nya yang pasti siapapun mustahil sanggup menanggungnya.

Jika sudah demikian, sepertinya kita perlu merenungkan kembali firman Allah SWT dalam sebuah hadis qudsi, “Aku tidak akan mengumpulkan dua ketakutan pada seorang hamba. Jika ia tidak takut kepada-Ku di dunia maka Aku akan memberinya rasa takut di akhirat. Jika ia takut kepada-ku di dunia maka Aku akan menghilangkan rasa takut pada dirinya di akhirat.”

Oleh karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Darani saat beliau berkata, “Kecelakaanlah bagi jiwa yang kosong dari rasa takut kepada Allah SWT!”
Lantas mengapa kebanyakan dari pada generasi Muslim saat ini begitu hampa dari rasa takut kepada Allah SWT? Tidak lain karena mata hatinya telah buta sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT (TQS al-Hajj [22]: 46).
“Maka sesungguhnya bukanlah mata mereka itu yang buta, akan tetapi yang buta ialah mata hati dari mereka yang ada di dalam dada.” (TQS al-Hajj [22]: 46).

Ya, kebanyakan mata hati kita memang sudah di butakan oleh gemerlapnya dunia yang sesungguhnya hanya bersifat sementara dan cenderung menipu. Akibatnya, kita tidak sanggup lagi melihat pahala dan dosa, serta tidak berdaya lagi menatap nikmat surga dan azab neraka yang sesungguhnya kekal dan abadi serta benar-benar 'nyata'.

Semoga Allah Swt senantiasa memberikan petunjuknya kepada kita semua, untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan melaksanakan kebaikan-kebaikan sesuai dengan syariat. Dan Allah menjadikan hari-hari kita, menjadi hari-hari yang penuh dengan amal shalih yang akan membawa kita kepada kebahagiaan, ketenangan dan keselamatan baik didunia maupun di akhirat.

Serta senantiasa Allah berikan hidayah pada segala urusan kita, khususnya dalam menajamkan mata hati kita dan memberikan petunjuk kepada kita semua dalam menapaki jalan-Nya yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Allah berikan nikmat kepada mereka, yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada, serta orang-orang yang shalih, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.

Related Posts:

Mulia Karena Lidah Yang Terjaga

Pada kesempatan yang mulia ini, saya berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada hadirin jamaah Jumat sekalian, untuk senantiasa meningkatkan kwalitas iman dan taqwa kita kepada Allah SWT dengan terus menerus berupaya menambah ketaatan kita di dalam melakanakan segala perintah2-Nya, serta menjauhi segala larangan2-Nya dengan penuh kesadaran, kesabaran, keikhlasan hati, serta mensyukuri berbagai nikmat dan karunia yang diberikan oleh Allah SWT.
Semoga kita termasuk kedalam golongan orang2 yang bahagia hidupnya, baik itu di dunia maupun di akhirat kelak. Amin.

Dalam kesempatan siang hari ini, akan saya bacakan firman Allah Ta’ala yang tercantum didalam Al Qur’anul karim :

"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (Qaf: 18).

Sesungguhnya lisan merupakan salah satu nikmat Allah yang amat besar dan salah satu ciptaan Allah yang paling menakjubkan. Bentuknya yang kecil, namun perannya sangat besar dalam ketaatan maupun dalam kemaksiatan. Bahkan kekufuran dan keimanan .....tidak bisa diketahui dengan jelas kecuali dengan persaksian lisan, padahal keduanya merupakan puncak dari ketaatan dan kemaksiatan.

Hadirin Sidang Jum’at yang Terhormat

Lisan adalah raja atas semua anggota tubuh. Semua tunduk dan patuh kepadanya. Jika ia lurus, niscaya semua anggota tubuhpun ikut lurus. Jika ia bengkok, maka bengkoklah semua anggota tubuhpun.
Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

"Apabila anak cucu Adam masuk waktu pagi hari, maka seluruh anggota badan tunduk kepada lisan, seraya berkata, 'Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami, karena kami mengikuti-mu, apabila kamu lurus, maka kami pun lurus, dan apabila kamu bengkok, maka kami pun bengkok'." (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad).

Seorang manusia bisa masuk surga disebabkan karena lisannya. Apabila benar lisannya, maka dia akan mendapatkan pahala, dan sebaliknya bila salah mempergunakannya maka dia akan mendapatkan dosa. Lisan manusia bisa mewujudkan berupa dzikir, tasbih, tahlil, membaca al-Qur`an, ucapan amar ma'ruf nahi munkar, berbuat baik kepada sesama manusia, dan mengajak mereka kepada kebaikan.
Lisan adalah salah satu nikmat dari Allah Swt, jika ia dipergunakan oleh hambanya untuk kebaikan, sebagai petunjuk dan keshalihan, maka dia akan mendapatkan pahala.

Hadirin Sidang Jum’at yang Terhormat..

Lisan memang senang sekali mengembara ke tempat-tempat yang tidak mempunyai tujuan, lahannya yang luas tiada terbatas dan tiada bertepi. Ia memiliki peran yang sangat besar di dalam lahan kebajikan, dan juga di di lahan keburukan.
Maka barangsiapa yang mengumbar lisannya dengan bebas dan tidak mau mengendalikannya, maka setan akan menggiring-nya ke dalam segala sesuatu yang dia ucapkan. Lalu menyeretnya ke jurang kehancuran, dan selanjutnya jatuh ke dalam kebinasaan.
Tidak seorang pun yang dapat selamat dari tergelincirnya lisan kecuali orang-orang yang mau mengendalikannya dengan tali kekang syariat, sehingga lisannya tidak mengucapkan sesuatu, kecuali yang memberi manfaat di dunia dan akhirat.
Ketika Aisyah ra berkata kepada baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
"Cukuplah bagi Anda bahwa Shafiyah itu orangnya begini, begini dan begini" Maksudnya tubuh Shafiyah itu pendek. Maka rasulullah SAW langsung menegurnya, apa sabda beliau kepada Aisyah….???, Wahai Aisyah..!! "Engkau telah mengucapkan suatu perkataan yang apabila dicampur dengan air laut niscaya dia akan merubahnya." (HR. Abu Dawud).

Kaum Muslimin yang Berbahagia

Kata-kata yang manis memang terbukti bisa menghipnotis manusia. Ia bisa menghanyutkan manusia dalam buaiannya.
Pendapat ini bertitik tolak pada fitrah manusia yang selalu ingin dihargai atau bahkan dipuji. Tutur kata yang manis juga bisa memotivasi orang lain untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan mungkar.
Sebuah kritikan yang tajam, namun dibungkus dengan tutur kata yang halus lebih bisa diterima oleh orang yang dikritik.

Dan sebaliknya, menyampaikan kebenaran secara vulgar dan kasar kepada umat manusia, terkadang akan berakibat sebaliknya.
Namun rasul bersabda: “Qulil haqqo walau kana murron”, Sampaikanlah kebenaran itu walau terasa pahit”.
Mengucapkan kebenaran itu memang besar resikonya, begitu juga mencegah kemungkaran banyak akibatnya, akan tetapi, itu harus kita lakukan, itu harus sampaikan, setidak-tidaknya untuk mencegah kemungkaran itu terjadi.
Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang lain bersabda :

“Iyakum wal kadziba fainal kadziba yahdi ilal fudzuri wal fudzuru illa naar”

“Hati-hatilah kamu dengan lisan yang gemar berdusta, sebab sesungguhnya dusta bisa membawa kepada perbuatan durjana, dan perbuatan durjana menggiring orang kepada neraka”.
Mula-mula dari ucapan, kemudian melangkah kepada perbuatan, dan dari perbuatan itulah yang akan jadi penilaian Allah SWT, jikalau perbuatan itu baik, maka kita melangkah kedalam surga, tetapi jikalau tidak, maka perbuatan kita jugalah yang akan menjerumuskan kita kedalam panasnya api neraka.
Oleh karena itu, berlindung kita kepada Allah, jangan sampai kita diberikan lidah yang gemar berdusta, bergunjing serta memfitnah.

Ma’asyiral muslimin rahima kumullah,

Semoga di bulan suci Ramadhan yang penuh barokah, maghfiroh serta ampunan ini, yang sebentar lagi akan segera meninggalkan kita, Allah Swt senantiasa memberikan petunjuknya kepada kita semua, untuk melaksanakan segala perintahNya dan melaksanakan kebaikan-kebaikan sesuai dengan syariat. Dan Allah menjadikan hari-hari kita, menjadi hari-hari yang penuh dengan amal shalih yang akan membawa kita kepada kebahagiaan, ketenangan dan keselamatan.

Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberikan hidayah pada segala urusan kita, khususnya dalam menjaga lisan kita dan memberikan petunjuk kepada kita semua dalam menapaki jalanNya yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Allah berikan nikmat kepada mereka, yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada, serta orang-orang yang shalih, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.

Related Posts: