“Jika kau bertanya padaku pada usia 16 tahun apakah aku ingin menjadi seorang Muslim, aku akan berkata,” Tidak, terima kasih. Agamaku adalah minum-minum, berpesta dan aku nyaman dengan teman-temanku,” ujar Catherine Heseltine, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tumbuh di London Utara, Catherine tidak pernah mempraktikkan agama apapun di rumahnya. Besar dalam lingkungan kelas menengah terpelajar, agama bagi keluarga ini dianggap “sedikit kuno dan tidak relevan”.
Hingga suatu hari, guru sekolah tumbuh kembang ini bertemu seorang pemuda bernama Syed. Pemuda ini, diakuinya, beda dengan laki-laki yang pernah dikenalnya. “Ia menantang semua prasangkaku tentang agama. Dia masih muda, Muslim, sangat percaya pada Tuhan – dan sialnya, ia sangat “normal”, sama seperti pria seusianya. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa, tidak seperti kebanyakan pemuda Inggris, dia tidak pernah minum minuman keras.”
Bagi Catherine, diskusi-diskusi dengan Syed membuatnya seperti ditampar. Menurutnya, seorang penganut agnotism akan menyadari bahwa menjadi pribadi tanpa agama adalah juga sebuah keyakinan; yakin Tuhan tak ada. “Kalau bagiku, bahkan Tuhan ada tidak pun, aku tak pernah peduli.”
Setahun kemudian, ia jungkir balik dengan pemikirannya. Sampai akhirnya diam-diam ia menyadari, mulai jatuh hati pada Syed dan Islam. Entah ia jatuh hati lebih dulu pada Islam kemudian baru Syed, atau sebaliknya. Yang jelas, ia yang makin penasaran kian rajin membaca buku-buku keislaman.
Apa yang paling menarik perhatiannya dari semua literatur yang dibacanya? “Alquran. Kitab ini sangat menarik dari sisi intelektual, sisi emosional, dan spiritual. Aku menyukai penjelasannya tentang alam semesta dan menemukan bahwa 1.500 tahun yang lalu, Islam telah memberikan hak-hak perempuan yang tak dimiliki di sini, di dunia Barat ini. Aku makin yakin Alquran betul-betul sebuah wahyu.”
Namun, menyatakan keislaman, dia belum sanggup. Baginya, berislam bukan sekadar bersyahadat, atau demi mendapatkan apa yang kita inginkan — dalam konteks Catherine adalah mendapatkan Syed sebagai suaminya. “Agama ini benar-benar cool. Tapi selama tiga tahun aku menyimpan minat dalam Islam untuk diriku sendiri,” ujarnya.
Sampai kemudian, timbul keberanian untuk bersyahadat saat kuliah di tahun pertama. Di tahun yang sama, karena alasan tak ingin berlama-lama pacaran, ia memutuskan menikah. “Reaksi awal Ibuku adalah, “tidak dapatkah kau hidup bersama saja dengannya tanpa menikah?” Bagi ibuku ia agak keberatan,” tambahnya.
Bagi ibunya, rumah tangga Muslim adalah rumah tangga yang menindas istri. Namun ia sudah bulat tekadnya. “Kini aku sudah lima tahun lebih menjadi Nyonya Syed dan ibuku tak menemukanku dirantai di dapur,” ujarnya terbahak-bahak.
Beda dengan Joanne atau Sukina (kisahnya ditulis di Republika Online dalam serial ini) yang berjilbab begitu bersyahadat, Catherine pada awal keislamannya belum sepenuhnya berjilbab. Di acara-acara keagamaan, ia mengenakan jilbab. Namun dalam kesehariannya, dia mengenakan bandana atau topi untuk menutupi rambutnya.
Ia beralasan, sengaja tampil demikian untuk menarik perhatian ketika tengah berada di rumah makan, tempat belanja, atau dimanapun ia berada di luar rumah. Ketika orang bertanya, maka akan mudah baginya untuk bercerita tentang Islam.
“Sepertiku, aku ingin orang bertahap mengadopsi ajaran Islam. Aku juga ingin orang menilaiku pertama kali dari kecerdasan dan karakterku, bukan agamaku. Ini aku sebut sebagai syiar.” (RoL / dakwatuna.com – London, )
0 Response to "Jalan Hidayah Catherina Heseltina"
Post a Comment