“Islam datang dalam keadaan asing dan ia akan kembali asing sebagaimana awal mulanya” ( Riwayat Muslim )
Sebuah televisi swasta pada suatu siang hari di pertengahan Agustus 2009 menayangkan berita tertangkapnya dua wanita di Medan, Sumatera Utara, oleh warga sekitar karena diduga teroris. Dalam sorotan kamera televisi terlihat jelas kedua wanita itu : tak berjilbab, malah satu diantaranya mengenakan celana pendek.
Usai berita itu ditayangkan, salah seorang presenter televisi bertanya kepada rekannya seraya tersenyum. “Anda percaya mereka teroris?”
Pertanyaan itu dijawab dengan tersenyum juga oleh presenter yang lainnya seraya berkata, “ Mengapa anda bertanya seperti itu?”
Senyuman sang presenter tadi seolah-olah bermakna penyangkalan. Mana mungkin kedua wanita itu teroris? Lihat saja pakaiannya seperti itu! Mungkin senyuman itu tak akan pernah mengambang dari bibir mereka andai saja kedua wanita tadi mengenakan cadar.
Tanpa sadar kita sedang diarahkan untuk membuat definisi yang salah tentang teroris. Lihatlah ketika salah satu televisi swasta menayangkan rumah Ibrohim, salah seorang yang diduga terlibat dalam pengeboman hotel JW Mariot Dan Ritz Carlton, Jakarta. Sorot kamera merekam dengan jelas kalimat "be agood Moslem or die as syuhada" ( hidup mulia atau mati syahid) dikaca jendela.
Tersorot juga tangan orang yang menunjuk tulisan itu.Seolah-olah ingin mengatakan kepada pemirsa, “ Ini salah satu bukti bahwa penghuni rumah itu adalah teroris. “Padahal apa yang salah dengan kalimat itu?
Tak hanya itu. Seorang Pangdam seusai memperingati detik-detik proklamasi kemerdekaan RI terang-terangan meminta kepada masyarakat agar segera melaporkan kepada pihak keamanan jika melihat ada orang asing yang memakai sorban, jubah, dan berjenggot. Lagi-lagi, apa yang salah dengan simbol-simbol Islam itu?
Di Bekasi, Jawa Barat, para wanita bercadar dirazia polisi, disingkap cadarnya, dan dilihat identitasnya. Ini gara-gara komentar seorang pengamat, bahwa Noordin M Top kerap mengenakan cadar pada siang hari. Kasus ini seolah-olah melengkapi ”drama” ketidakberdayaan polisi menangkap si Noordin”palsu” di Temanggung, Jawa Tengah, hingga menghabiskan waktu 18 jam dan menurunkan 600 personel dengan senjata lengkap.
Stigma negatif kepada Islam tidak berhenti sampai disitu. Seorang pengamat menengarai aktifitas dakwah seperti pengajian, muhasabah,outbound, perlu diwaspadai karena rentan menjadi media penanaman nilai-nilai radikalisme. Ada juga yang mengatakan bibit-bibit radikalisme sudah masuk ke sekolah-sekolah, sehingga kurikulum pendidikan agama perlu diubah.
Ini semua cara penyikapan yang berlebihan. Kita semua tak setuju dengan aksi pengeboman yang menewaskan warga sipil, apalagi muslim. Namun, bukan berarti masyarakat harus dibuat alergi terhadap simbol-simbol Islam yang kebetulan melekat pada diri tersangka.
Simbol-simbol itu adalah sunah. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa mengabaikan sunnahku maka dia bukan dari golonganku” (Mutafaq’alaih). Mengabaikan saja kita sudah tidak boleh apalagi memusuhinya.
Jangan sampai pria berjenggot, ada tanda hitam dikeningnya, dan dijaketnya ada tulisan, “Hidup mulia atau mati Syahid”, lebih dicurigai ketimbang laki-laki dengan gaya rambut funk, dari mulutnya keluar bau rokok atau minuman keras(pen), dilengannya ada gambar tato naga, dan dijaketnya ada tulisan “ Metalica”.
Kata-kata jihad jangan pula dihapus dalam pikiran generasi muda Islam, bahkan harus digelorakan terus. Sebab, kegemilangan generasi awal Islam, salah satunya diantaranya, disebabkan semangat jihad bangsa kita merdeka karena para pahlawan mengobarkan api jihad dikalangan pemuda dinegeri ini.
Jika semangat itu sudah pudar maka generasi muda Islam akan tumbuh menjadi generasi penakut, bahkan pengecut, yang tak siap mengorbankan harta dan jiwanya untuk fii sabilillah.
Pemahaman jihad - jika memang ada yang salah - perlu diluruskan, tapi tidak untuk dihapuskan.
Wallahu a’lam.
Sebuah televisi swasta pada suatu siang hari di pertengahan Agustus 2009 menayangkan berita tertangkapnya dua wanita di Medan, Sumatera Utara, oleh warga sekitar karena diduga teroris. Dalam sorotan kamera televisi terlihat jelas kedua wanita itu : tak berjilbab, malah satu diantaranya mengenakan celana pendek.
Usai berita itu ditayangkan, salah seorang presenter televisi bertanya kepada rekannya seraya tersenyum. “Anda percaya mereka teroris?”
Pertanyaan itu dijawab dengan tersenyum juga oleh presenter yang lainnya seraya berkata, “ Mengapa anda bertanya seperti itu?”
Senyuman sang presenter tadi seolah-olah bermakna penyangkalan. Mana mungkin kedua wanita itu teroris? Lihat saja pakaiannya seperti itu! Mungkin senyuman itu tak akan pernah mengambang dari bibir mereka andai saja kedua wanita tadi mengenakan cadar.
Tanpa sadar kita sedang diarahkan untuk membuat definisi yang salah tentang teroris. Lihatlah ketika salah satu televisi swasta menayangkan rumah Ibrohim, salah seorang yang diduga terlibat dalam pengeboman hotel JW Mariot Dan Ritz Carlton, Jakarta. Sorot kamera merekam dengan jelas kalimat "be agood Moslem or die as syuhada" ( hidup mulia atau mati syahid) dikaca jendela.
Tersorot juga tangan orang yang menunjuk tulisan itu.Seolah-olah ingin mengatakan kepada pemirsa, “ Ini salah satu bukti bahwa penghuni rumah itu adalah teroris. “Padahal apa yang salah dengan kalimat itu?
Tak hanya itu. Seorang Pangdam seusai memperingati detik-detik proklamasi kemerdekaan RI terang-terangan meminta kepada masyarakat agar segera melaporkan kepada pihak keamanan jika melihat ada orang asing yang memakai sorban, jubah, dan berjenggot. Lagi-lagi, apa yang salah dengan simbol-simbol Islam itu?
Di Bekasi, Jawa Barat, para wanita bercadar dirazia polisi, disingkap cadarnya, dan dilihat identitasnya. Ini gara-gara komentar seorang pengamat, bahwa Noordin M Top kerap mengenakan cadar pada siang hari. Kasus ini seolah-olah melengkapi ”drama” ketidakberdayaan polisi menangkap si Noordin”palsu” di Temanggung, Jawa Tengah, hingga menghabiskan waktu 18 jam dan menurunkan 600 personel dengan senjata lengkap.
Stigma negatif kepada Islam tidak berhenti sampai disitu. Seorang pengamat menengarai aktifitas dakwah seperti pengajian, muhasabah,outbound, perlu diwaspadai karena rentan menjadi media penanaman nilai-nilai radikalisme. Ada juga yang mengatakan bibit-bibit radikalisme sudah masuk ke sekolah-sekolah, sehingga kurikulum pendidikan agama perlu diubah.
Ini semua cara penyikapan yang berlebihan. Kita semua tak setuju dengan aksi pengeboman yang menewaskan warga sipil, apalagi muslim. Namun, bukan berarti masyarakat harus dibuat alergi terhadap simbol-simbol Islam yang kebetulan melekat pada diri tersangka.
Simbol-simbol itu adalah sunah. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa mengabaikan sunnahku maka dia bukan dari golonganku” (Mutafaq’alaih). Mengabaikan saja kita sudah tidak boleh apalagi memusuhinya.
Jangan sampai pria berjenggot, ada tanda hitam dikeningnya, dan dijaketnya ada tulisan, “Hidup mulia atau mati Syahid”, lebih dicurigai ketimbang laki-laki dengan gaya rambut funk, dari mulutnya keluar bau rokok atau minuman keras(pen), dilengannya ada gambar tato naga, dan dijaketnya ada tulisan “ Metalica”.
Kata-kata jihad jangan pula dihapus dalam pikiran generasi muda Islam, bahkan harus digelorakan terus. Sebab, kegemilangan generasi awal Islam, salah satunya diantaranya, disebabkan semangat jihad bangsa kita merdeka karena para pahlawan mengobarkan api jihad dikalangan pemuda dinegeri ini.
Jika semangat itu sudah pudar maka generasi muda Islam akan tumbuh menjadi generasi penakut, bahkan pengecut, yang tak siap mengorbankan harta dan jiwanya untuk fii sabilillah.
Pemahaman jihad - jika memang ada yang salah - perlu diluruskan, tapi tidak untuk dihapuskan.
Wallahu a’lam.